Belakangan ini, topik LGBT merupakan topik kontroversial. Bukan hanya di Gereja atau di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Dalam era keterbukaan seperti sekarang, sepertinya kita masih dalam taraf meraba-raba bagaimana baiknya menghadapi kaum LGBT, orang-orang dengan pilihan kehidupan seksual yang berbeda dengan khalayak pada umumnya. Apalagi, saat ini masyarakat makin mudah tersinggung dengan isu-isu sara dan diskriminasi, membuat kita semakin takut untuk berdialog karena tidak mau menyinggung perasaan orang lain.
Gua menggaris-bawahi kata-kata “takut” dan “tersinggung” karena kedua perasaan itu seringkali adalah produk dari pikiran kita sendiri. Musuh berusaha agar dialog rasional yang berdasarkan cinta kasih perihal LGBT (dan apa pun yang memiliki perbedaan) tidak pernah terjadi. Dia ingin agar Gereja terpecah-belah! Untuk itu dia menanamkan ketakutan, perasaan sungkan, dan akhirnya kebingungan dalam pikiran kita. Peperangan pun terjadi dalam pikiran kita sendiri!
Untuk itu, mari kita menenangkan diri dan berpikir secara rasional. Sebenarnya apa sih yang membedakan kelainan seksual seperti LGBT dengan orang-orang yang juga menghadapi berbagai macam cobaan setiap hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik? Apa yang membedakan cobaan kaum LGBT dengan orang yang punya kecenderungan untuk menonton pornografi, masturbasi, selingkuh, narkoba, alkoholisme, iri hati, cemburu dan semua cobaan yang bisa kita pikirkan? Tidak ada bedanya! Kita semua adalah pendosa yang menghadapi cobaan (Rom 3.23). Kita semua memiliki salib kita masing-masing. Untuk itu Gereja hadir. Untuk orang-orang yang sakit, yang menderita karena dosa. Kita semua membutuhkan kemuliaan Tuhan yang dihadirkan melalui sakramen-sakramen Gereja!
Jadi apa yang berbeda dari topik LGBT sampai kita harus segitunya kebingungan atau ketakutan? Apakah mereka harus diperlakukan berbeda? Benarkah kita berani menyebut diri kita “normal”; atau “lebih benar” karena kita bukan LGBT? Beneran berani? Coba kita pikirkan baik-baik.
Gua menulis ini bukan mau membela siapa pun. Namun gua ingin supaya kita mulai membangun pondasi yang sehat untuk berdialog. Yakni kita semua sama-sama pendosa. Kita membutuhkan cinta kasih Tuhan. Kita dipanggil untuk dengan rendah hati mengakui bahwa kedagingan kita lemah, untuk itu kita perlu saling mendukung, saling mendoakan (Mt 26.41).
Dialog sehat hampir belum pernah terjadi, yang terjadi adalah perasaan frustasi, kemarahan, yang berasal dari kerinduan yang tak terjawab. Kerinduan untuk hidup berkomunitas, kerinduan untuk mendapatkan dukungan didalam perjuangan menghadapi cobaan, kehausan akan cinta kasih Allah Bapa!
Mudah-mudahan melalui bagian pertama artikel ini, tipuan yang disebarkan musuh mulai kita telanjangi satu per satu.
Sekarang, gua ingin mengajak pembaca untuk mengenang masa-masa SMA. Masa-masa dimana popularitas dan keinginan untuk diterima sangat penting. Masa-masa dimana kita mulai pacaran atau melihat teman-teman kita punya pacar. Ingatkah kita kepada teman-teman kita yang rada-rada aneh? Yang suka jadi bulan-bulanan diledek atau malah dijauhi? Kenapa nasib mereka begitu? Kalau tebakan gua karena mereka “berbeda”.
Jaman SMA, gua sangat takut jadi orang “aneh”. Gua gak mau berbeda dari teman-teman. Sialnya, gua memang agak berbeda. Teman-teman gua semua tidak ada yang gugup kalau berbicara dengan lawan jenis, gua bakal sangat gugup sampai lebih baik tidak ngomong apa-apa. Begitu teman-teman mulai sadar akan kegugupan gua, gua mulai jadi bulan-bulanan kalau urusan pacaran, kepanitiaan bersama dengan SMA homogen lawan jenis (dulu gua di SMA homogen cowok), pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan interaksi dengan lawan jenis seumur. I was so bad at it, it was embarrassing!
Nah kalau kita pikir kok bisa ya urusan kecil seperti itu saja begitu memalukan sampai terkenang-kenang, bayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang punya godaan LGBT saat usia yang sama! Kalau pengalaman gua, teman-teman gua yang kelakuannya agak halus saja sudah akan diledek, bahkan menjurus ke bullying. Bagaimana yang benar-benar punya godaan LGBT? Kalau gua yang di situasi itu, mungkin akan gua sembunyikan dalam-dalam!
Gua tidak ingin menyalahkan siapa pun yang suka iseng di SMA. Itulah pengalaman SMA yang normal untuk gua. Namanya anak SMA!. Dan bahkan kenangan SMA yang baru gua ceritakan terjadi pada diri gua, sekarang menjadi bahan ketawa-ketiwi saat reuni.
Namun bagi teman-teman yang merasa tersisih, minder karena berbeda atau bahkan merasa dibully lingkungan seperti ini bisa menimbulkan luka batin yang mendalam, yang dibawa sampai mereka dewasa, saat mereka mulai berani “bersuara”.
Saat mereka mulai bersuara mengekspresikan siapa diri mereka, ekspresi ini sudah diracuni oleh luka-luka batin lama. Reaksi mereka menjadi reaksi orang yang terluka, yang terdesak, sehingga sering kali mengambil langkah ekstrim, hanya untuk pembuktian kepada dunia bahwa mereka “tidak peduli” apa yang dipikirkan orang lain perihal mereka.
Jadi bukan saja mereka mulai menyerah terhadap kecenderungan LGBT yang mereka alami, banyak yang seperti punya agenda untuk sengaja memunculkan perilaku itu secara terang-terangan. Kalau perlu lebih extrim dari kaum heteroseksual, hanya karena mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bangga akan siapa diri mereka. Peduli setan dengan dosa, apalagi Gereja yang selama ini menelantarkan mereka!
Selanjutnya, karena naluri manusia adalah untuk hidup berkomunitas, mereka mulai membentuk komunitas-komunitas “khusus LGBT”.
Sesungguhnya hal ini ironis. Saat ini, LGBT menjadi topik hangat dan cenderung sensitif karena para pembela pola hidup LGBT ingin agar pola hidup ini dianggap normal dan mempunyai hak yang sama untuk berekspresi. Namun, justru mereka malah membuat komunitas khusus yang menonjolkan betapa spesialnya mereka! Justru banyak komunitas dan kegiatan-kegiatan yang semakin menonjolkan perbedaan! Bendera khusus berwarna pelangi? Lomba lari khusus pria gay dengan menggunakan sepatu hak? Jika saya salah satu dari mereka, justru saya akan tersinggung dengan komunitas dan kegiatan yang malah mempertajam stereotip, bukan tersanjung.
Saya sengaja memperlihatkan penyimpangan pola pikir diatas. Karena adalah pengalaman saya saat menghadapi penyimpangan pola pikir seperti ini, berarti banyak luka-luka semua pihak yang perlu disembuhkan. Sebelum kita jauh-jauh berbicara tentang pertobatan dan lain sebagainya, perlu adanya kesadaran akan adanya luka-luka tersebut, dan perlu terjadi penyembuhan terlebih dahulu!
Penyembuhan dari apa? Dari segala luka-luka batin dan emosional yang pernah terjadi karena kebingungan, penolakan dan reaksi-reaksi melawan penolakan itu. Umat yang lain juga perlu disembuhkan dari kesalahpahaman menahun bahwa LGBT begitu spesialnya sehingga kita perlu berhati-hati, curiga, dan memberikan perlakuan khusus supaya mereka tidak tersinggung dan mau ke gereja lagi. Mereka tidak berbeda dengan kita! Mereka adalah umat yang masih berjuang melawan cobaan dan dosa, sama seperti kita! Mereka butuh keselamatan, sama seperti kita! Mereka perlu diterima, bukan dihakimi dan dibedakan, sama seperti kita!
Semoga langkah pertama ini bisa terjadi. Untuk itu, adalah tugas kita sebagai pengikut Yesus untuk selalu menjadi pekerja lahan, menabur benih dan memelihara lahan. Selebihnya adalah urusan Tuhan. Pusatkanlah perhatian kita terhadap sikap menerima. Bukan menerima dosanya, namun menerima para pendosanya, sama seperti kita juga pendosa. Tidak ada yang berbeda. Sama seperti Yesus menerima kita, merangkul kita sebagai sahabat, sebagai kekasih, dan membisikkan ke kita “Aku mengerti”.
Penulis: Indra Setiadi
Comments