top of page
Writer's pictureDomus Cordis

Mantan Pacar Bikin Galau

MANTAN PACAR BIKIN GALAU

Berbicara soal mantan, aku baru pacaran di usia sembilan belas tahun, saat mulai kuliah.

Awalnya mau pacaran cuma karena ingin membuktikan pada diri sendiri kalo aku bisa punya pacar. Mengapa sampai perlu membuktikan pada diri sendiri? Karena saat itu gambar diriku sangat ngak bagus. Aku sering menerima ejekan dari mama sejak kecil hingga remaja, bahwa aku ini gendut, jelek, ngak berguna, pemalas jadi ngak bakal ada cowok yang mau sama aku. Mama juga bilang kalo aku bakalan jadi perawan tua. Ucapan-ucapan itu tentu saja membuatku sakit hati. Sedangkan papa hanya diam saja, jarang berkomunikasi denganku, dan tak pernah memberikan sentuhan kasih. Lengkaplah sudah gambar diriku menjadi semakin rusak.

Aku berkenalan dengan mantan pacar pertama lewat internet (dulu namanya MIRC, Internet Relay Chat yang berbayar). Namun karena niatnya cuma untuk membuktikan kepada mama kalo bisa punya pacar, maka relasi kami pun hanya berjalan singkat. Cukup 3 (tiga) bulan saja. Saat putus, aku tidak merasa sedih malah senang, seperti terlepas dari masalah. Dalam waktu singkat, aku berkenalan lagi dengan cowok yang adalah tetangga rumah. Proses perkenalan berlangsung cepat dan dia langsung “nembak”. Jadilah dia mantanku yang ke dua.

Kami menjalani relasi jarak jauh (Long Distance Relationship) karena dia kuliah di luar negeri. Hubungan kami bisa bertahan sekitar dua setengah tahun. Karena gambar diriku yang rusak, dalam relasi ini aku berusaha mencari pemenuhan kasih lewat kehausan akan sentuhan fisik dan kata-kata kasih sayang yang tak kudapatkan dari orang tua. Pacaran kami pun menjadi tidak sehat.  Kami hampir masuk dalam hubungan seksual di luar perkawinan. Bagi dia yang sedang hidup di negara bebas, melakukan hubungan seksual di luar perkawinan, asal ke dua pihak sama-sama mau, bukan hal yang salah. Sedangkan bagiku yang ingin mempertahankan kemurnian seksual atau keperawanan –  sebagaimana yang dipromosikan oleh Theology of the Body lewat gaya hidup “chastity” nya – menarikku untuk rindu hidup dalam kesucian atau kekudusan. Tulisan Rasul Petrus yang memberi inspirasi kuat padaku, “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus”. Disitulah awal hubungan kami mulai retak. Pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi sampai akhirnya dia memutuskan hubungan kami.

Aku langsung menjadi sangat stress dan banyak menangis. Lalu aku mulai mencari Tuhan di dalam sebuah komunitas persekutuan doa orang muda. Dalam sebuah sharing kelompok yang terdiri dari lima cewek, aku mendengar kisah mereka yang telah melakukan hubungan seksual saat pacaran namun akhirnya putus juga. Ternyata aku tidak sendirian yang mengalami pergumulan melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual  saat berpacaran. Dalam komunitas, aku juga banyak mendengar tentang renungan dari Kitab Suci yang berbicara tentang pengampunan, seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, “Live and let live. That’s the first step to peace and happiness”. Yang maksudnya adalah nikmatilah hidupmu, “move on”, ampunilah dirimu dan ampunilah mereka yang telah bersalah padamu.  

Santo Yohanes Paulus II juga berpesan kepada Orang Muda, “”It is Jesus you seek when you dream of happiness; he is waiting for you when nothing else you find satisfies you; he is the beauty to which you are so attracted; it is he who provokes you with that thirst for fullness that will not let you settle for compromise; it is he who urges you to shed the masks of a false life; it is he who reads in your hearts your most genuine choices, the choices that others try to stifle.” Akhirnya aku menyadari bahwa kasih Allah lah yang sanggup memenuhi hati yang hancur, patah hati dan hampa ini.

Usia dua puluh empat tahun, aku baru kembali memberanikan diri menjalin hubungan dengan mantan ketiga. Namun karena relasi kami juga jarak jauh dan hatiku belum sepenuhnya pulih dari patah hati maka relasi kami hanya bertahan selama satu tahun. Suamiku sekarang adalah pacar ke empatku. Dia adalah teman di Sekolah Dasar. Kami berpacaran di usia dua puluh lima tahun dan menikah di usia dua puluh tujuh tahun. Kami menerapkan “chastity” dalam relasi berpacaran kami. Saat ini kami memasuki usia perkawinan ke delapan tahun dan telah dikaruniai seorang puteri berusia lima tahun dan seorang putera yang saat ini sedang ada dalam kandungan usia enam bulan.

Dalam panggilan hidupku yang adalah berkeluarga, “Theology of the body” telah banyak memberi inspirasi dalam perkawinanku. Nilai-nilai dalam Sakramen Perkawinan, bahwa tubuh manusia memiliki karakterisasi perkawinan yang berciri bebas, total, setia dan berbuah memperkaya panggilan hidupku. Empat belas tahun kemudian, yaitu  saat ini, aku tetap menjalani hubungan yang baik dengan para mantan dan isteri mereka. Bahkan anakku dan anak salah satu mantanku pun adalah teman bermain bersama. Itulah karya  Tuhan yang luar biasa.

Buat kalian, yang mungkin sedang mengalami masalah dalam relasi dengan mantan pacar, atau mengalami gambar diri yang buruk atau patah hati, datanglah dan serahkanlah pada Tuhan Yesus. Ia akan membuka jalan yang baru, memulihkan relasi dan gambar dirimu.  Ikutlah bimbingan-Nya, berusahalah terus berkomitmen menerapkan gaya hidup “chastity” dan lihatlah Allah akan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya.

Kontributor: Melinda, alumni Basic Program 2013

1 view0 comments

Recent Posts

See All

תגובות


bottom of page