Galau. Sebuah perasaan yang acapkali dirasakan oleh anak muda usia tanggung, seperti saya contohnya. Ketika dihadapkan pada dilema antara mencintai Kristus dan GerejaNya atau menggenggam cinta yang ditawarkan oleh dunia melalui ciptaanNya. Yap, saya alami itu. Galaunya akut. Secara psikologis memang sangat berpengaruh terhadap kualitas saya untuk fokus terutama dalam perayaan Ekaristi. Hati selalu bertanya : “Tuhan, kapan Kau ijinkan aku dan dia berdiri di hadapanmu dirumahMu ini, memuji dan menyembahMu dalam Ekaristi Kudus?”
Pergumulan tentang cinta dan komitmen ini yang pada akhirnya Tuhan beri jalan pada sebuah keputusan untuk berjalan pada pilihan masing-masing. Berat. Sedih. Sudah ikhlas? Mungkin bisa dikatakan belum. Di usia ideal seorang wanita untuk menikah tapi kamu baru saja mengalami sebuah kegagalan untuk membangun relasi, bagaimana ya, menjabarkan rasanya?
Takut.
Cemas.
Gelisah.
Apakah saya nggak punya jodoh?
Perasaan dan pikiran negatif itu seringkali muncul dan menjebak diri. Pikiran anak Tuhan kok begini amat ya..hehehe.. Lantas apa solusinya?
Saya melarikan diri dengan banyak membaca buku motivasi, seperti Chicken Soup For the Soul dan buku-buku tulisan Paulo Coelho. Buku-buku itu sangat membantu untuk berpikir positif, meski pikiran negatif juga kadangkala melanda. Saya juga menjadi sok bijak karena membaca Kitab Suci. Manusiawi banget ya, ketika gagal barulah datang ke Tuhan Yesus. Ayat-ayat dalam Kitab Suci menjadi kekuatan dan sumber peneguhan untuk mengobati patah hati. Saya percaya bahwa Tuhan tidak akan kehabisan ide untuk melawat yang sakit dan terluka. Kuncinya cuma satu : buka hati supaya Tuhan Yesus masuk dan tinggal dalam hati kita untuk sembuhkan. Mungkin klise dan terkesan sok suci. Faktanya hanya datang kepada Tuhan Yesuslah yang membuat saya pelan-pelan rela gagal membangun relasi untuk alasan sebuah perbedaan Gereja. Saya beragama katolik dan dia beragama Protestan.
Saya hanya percaya satu hal, apa yang memang menjadi garis kehidupanmu, pasti akan diberikan untukmu pada waktuNya Tuhan. Jika sesuatu itu bukan untukmu, akan selalu ada cara Tuhan untuk memisahkannya. Sayangnya, telinga dan mata kita suka tertutup kalau sedang dilanda api asmara, karena yang kita utamakan hanya maunya kita. Padahal Tuhan belum tentu merestui relasi kita sama dia, kitanya yang “ngeyel” dan akhirnya juga sakit tho. Setelah satu tahun mencoba, kami mengambil keputusan untuk menyerah. Bukan juga karena sudah tidak mau usaha, tapi hati memang tidak bisa dipaksakan. Saya mencintai Ekaristi dan Bunda Maria. Saya tidak bisa untuk tidak kompromi dengan kekatolikan saya. Yap, mencintai Kristus dan Bunda Maria lebih membuat saya tenang dan damai. Saya tidak bisa berpaling walau hanya ke lain gereja. Begitu pula dengan pacar saya. Dia tidak mau belajar untuk mencintai apa yang saya imani. Dan hubungan yang tidak mengakar, pada akhirnya menjadi layu sebelum tumbuh dan berkembang. Sesuatu yang tidak sepadan tentu tidak akan mampu berjalan seimbang dan setujuan. Meskipun perbedaan tidak selalu menjadi hambatan, tapi tanpa kompromi atas kedua belah pihak maka cita-cita bersanding di depan altar merayakan Sakramen Perkawinan hanya akan menjadi angan-angan. Maka bersabarlah : Tuhan selalu punya cara dan waktu yang terbaik.
Penulis: Natalia, seorang pecinta TOB St. Yohanes Paulus II
Comentários