Celibacy and Religious Life in the light of TOB
Ketika anak remaja ditanyai mengapa tidak berminat jadi pastor/suster? Sebagian besar akan menjawab : ‘ntar ga bisa kawin’. Is it the right answer?
Celibacy and Marriage Analogy
Saya pernah makan dimsum sepuasnya dengan teman-teman saya. Menu yang kami tunggu-tunggu adalah ‘hakau’, menu dimsum favorit kebanyakan orang, hakau sangat laku karena sangat disukai, so, harus memesan dan menunggu. Sebelum hakau datang, bakpau, lumpia, somay sudah tersedia. Ada beberapa teman yang walaupun menunggu hakau, mereka tetap menikmati bakpau, somay, dll. ada juga teman yang hanya minum dan menunggu sang hakau datang, karena tidak ingin kenyang terlebih dulu oleh makanan selain hakau. Ketika hakau datang, teman-teman yang sudah makan terlebih dulu, mungkin sudah merasa sedikit kenyang, karena hakau datangnya lama banget. Sementara yang menunggu hakau, langsung dengan lahap menikmati seperti orang kelaparan. Anyway, kami semua puas, makan enak dan kenyang.
Teman-teman yang menunggu hakau merupakan analogi para selibater. Mereka menunggu perkawinan surgawi. Mereka tidak puas dan tidak mau menikmati perkawinan duniawi. Mereka mengkhususkan dan mempersiapkan dirinya khusus untuk perkawinan surgawi. Sementara mereka yang makan terlebih dulu merupakan analogi orang-orang yang menikah. Mereka menikmati terlebih dulu perkawinan surgawi itu di bumi. Dan nantinya, mereka juga akan menikmati perkawinan surgawi itu. Anyway, di Surga, kita akanmengikuti dan mengambil bagian dalam perjamuan kawin Anak Domba Allah. Yaitu Yesus, sebagai mempelai laki-laki akan menikah dengan Gereja-Nya, kita.
Celibacy VS Sexual Excitement
Banyak orang berpikir bahwa, dengan hidup selibat maka hidup akan menjadi boring dan tidak dapat merasakan nikmatnya seks. Wait! Sexuality is not just about intercourse, but it reveals who we are. Seks bukan hanya soal hubungan intim dan kenikmatannya. Seks berbicara soal diri kita. Lewat seksualitas kita sebagai pria dan wanita, kita dapat semakin memahami diri kita dan memahami Tuhan. Pilihan untuk selibat bukan hanya berarti tidak berhubungan seks. Yang akan membawa joy dalam hidup kita bukanlah sex, tetapi love.
Celibacy doesn’t reject sexuality Jika anda berpikir selibat adalah pilihan untuk tidak melakukan hubungan seks maka, you lose the point of celibacy. Mereka yang memilih untuk selibat, tidak menolak seksualitas mereka. Sebaliknya, mereka malah menggambarkan tujuan dan makna utama dari seksualitas manusia, yaitu pemberian secara utuh kepada Tuhan. Mereka berfokus pada suatu hidup yang lebih menyenangkan di Surga. Lewat pemberian diri secara utuh ini, mereka berfokus pada persatuan dengan Tuhan di Surga. Mereka menjadi saksi bahwa terdapat sukacita yang lebih besar daripada sukacita di dunia ini, yaitu sukacita surgawi.
Celibacy is not repressing and Marriage is not releasing Selibat tidak menahan dan memendam dorongan seksual. Dan di sisi lain, marriage atau pernikahan bukanlah suatu zona aman melampiaskan dorongan seksual. Para selibater menikmati seksualitas mereka dan mengalihkan segala dorongan seks mereka kepada persatuan utuh dengan Tuhan dan pemberian diri secara utuh. Pasangan yang menikah mengucapkan janji pernikahan mereka dan mereka mengucapkannya tanpa kata lewat penyerahan diri secara utuh, murni dan bebas lewat hubungan seks. Baik memilih untuk menikah maupun selibat, seseorang tetap harus menjaga kemurnian diri masing- masing dan memenuhi panggilan dirinya yaitu untuk memberi. Baik dengan memberikan diri secara utuh kepada pasangan, maupun mempersembahkan diri lewat selibat. Baik menikah, maupun selibat, seseorang dewasa juga dapat dipanggil sebagai orang tua. Ayah dan ibu sebagai orang tua bagi anak- anak mereka dan Imam dan biarawati dipanggil menjadi gembala bagi umat-umat- Nya.
Oleh. Monica Alumi Intermediate Program 2016
Source :
TOB for teens by Jason Evert chapter 9, TOB leadership training by Brian Butler video chapter 9.
Comments