“Nggak ada yang orang sini aja, ya?”, itulah yang ditanyakan mamanya mantan pacarku saat pertama kali mantanku bilang kalau dia sedang berpacaran denganku. Memang, kami berbeda suku, bahkan berbeda usia, dia lebih muda setahun dariku. Sebelum memutuskan pacaran, aku memang tidak pernah mengenal keluarganya, tidak pernah main ke rumahnya. Rasanya kayak tabu aja, masa main ke rumah cowok dengan status gebetan. Entar aja, kalo udah resmi pacaran, baru deh main ke rumahnya, kenalan sama keluarganya. Ternyata, pemikiran itu malah bikin sakit hati minta ampun saat dengar mamanya tidak menyukai latar belakang suku asalku.
Suku asal yang tadinya kupikir hal yang sepele, tetapi tidak demikian buat orang lain. Buat keluarga mantan pacarku, suku asal calon pasangan anak-anaknya adalah hal yang sangat penting. Kenyataan ini baru aku ketahui saat kami sudah berpacaran. Mau bagaimana lagi, hanya ada dua pilihan, yaitu lanjut atau putus. Waktu itu, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan hubungan kami, yang ternyata konsekuensinya sangat berat! Aku tinggal di perantauan, di kota asal mantanku, sedangkan orang tuaku tinggal di provinsi yang berbeda. Secara otomatis, akulah yang lebih sering bertemu orang tuanya, daripada dia yang bertemu orang tuaku.
Kami bersepakat untuk mendapatkan restu orang tua kami masing-masing sebelum menikah. Aku melakukan berbagai cara untuk mengambil hati orang tuanya, terutama mamanya. Misalnya, kalau berkunjung pasti membawa oleh-oleh, berusaha bisa ngobrol sama mamanya, berusaha terlihat baik dan nyaman saat berada di rumahnya, berusaha tetap saat menonton acara TV kesukaan mereka meskipun bukan tayangan yang aku suka, berusaha ikut tertawa meskipun tidak merasa lucu. Pernah suatu waktu, secara tidak sengaja, kedatanganku tepat saat mereka sedang sibuk mempersiapkan acara keluarga. Aku bingung, dan tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya duduk diam, dan memperhatikan kalau ada yang bisa kulakukan di sana.
Kurang lebih dua tahun berjalan, semua usahaku itu akhirnya membuatku kelelahan sendiri. Aku tidak bisa menjadi diriku sendiri di depan keluarga mantanku. Aku tidak bisa tertawa lepas. Aku memaksakan diriku untuk selalu nyambung dengan topik obrolan mereka. Aku harus jaga image. Aku berusaha menjadi aku yang mereka inginkan. Aku berusaha menjadi aku yang cocok sama mereka. Tujuannya cuma agar aku bisa diterima dalam keluarganya. Hasil akhirnya? Mereka tetap tidak menyukai aku dan tetap berharap anaknya mencari pasangan dari satu suku yang sama.
Singkat cerita, kami akhirnya putus. Kalau diingat lagi, banyak banget diskon yang aku berikan saat itu. Aku mendiskon prinsip-prinsip hidupku hanya untuk diterima orang lain. Kalau saja dulu aku sudah tahu keluarganya sebelum kami berpacaran, mungkin ceritanya akan berbeda. Kalau saja dulu aku paham dan taat pada alarm dari Tuhan saat dengar mamanya tidak menyukaiku, aku pasti tidak perlu melewati segala hal yang melelahkan agar bisa masuk dalam keluarganya. Namun, semuanya telah berlalu. Aku sendiri yang memilih untuk melalui hal berat itu.
Sobat TOB, kamu punya kesempatan yang sangat besar untuk menghindari pengalaman yang sama denganku. Kamu tidak perlu mengalami ditolak oleh orang tua pasanganmu. Kamu tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain hanya agar diterima oleh keluarga pasanganmu. Kamu tidak perlu mengorbankan dirimu sedemikian rupa untuk membuktikan bahwa kamu layak. Asalkan, sebelum memutuskan pacaran, kamu sudah tahu seperti apa keluarga gebetanmu.
Mengenal keluarga gebetan sebelum berpacaran adalah salah satu tahap yang penting untuk dilakukan. Carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang keluarga gebetanmu. Kamu bisa melakukannya saat berkunjung ke rumahnya atau bertanya kepada teman-teman dekatnya. Tujuannya adalah agar kamu bisa memutuskan dengan tepat dan tidak ada penyesalan di kemudian hari. Kamu bisa menilai apakah kamu cocok atau sanggup beradaptasi dengan keluarganya atau tidak. Selain itu, hubunganmu dengannya nanti harus benar-benar berlandaskan kasih sayang yang tulus, bukan karena sudah terlanjur sayang.
Kamu tidak perlu mencari informasi yang terlalu detail. Ini masih sebatas tahap mengenal keluarga agar bisa tahu apakah kamu bisa nyambung atau tidak di dalamnya. Misalnya, prinsip hidup keluarganya, cara interaksi gebetanmu dengan keluarganya, gaya bicara mereka, dan hobi mereka. Rasakan bagaimana suasana keluarga gebetanmu dan bayangkan jika kamu berada di dalamnya. Bayangkan juga jika keluargamu dan keluarganya menjadi satu. Ini bisa menjadi salah satu poin untuk menentukan apakah kalian bisa melanjutkan ke tahap pacaran atau tidak. Jangan sampai nanti kamu terjebak seperti aku di masa laluku.
Kamu sudah tahu kan, tujuan pacaran yang benar adalah untuk menikah? Oleh karena itu, kamu juga harus melakukan tahap demi tahapnya dengan benar. Tidak apa-apa jika ada banyak perbedaan antara keluargamu dan keluarganya karena memang setiap orang pasti berbeda. Asalkan, kamu dan gebetanmu tidak saling memaksakan diri untuk cocok dalam keluarga satu sama lain. Kalau kamu bingung, kamu bisa meminta pendapat orang tua atau sahabat-sahabatmu untuk membantumu menilai gebetan secara objektif. Abaikan dulu rasa berdebar-debar dalam hati, dan gunakanlah akal budimu. Pikirkan dengan matang agar kalian tidak menjalin relasi yang penuh toxic nantinya.
Lagi-lagi, berusahalah sebisamu untuk menghindari pengalaman pahitku. Bawalah dalam doa. Dulu, aku tidak melakukannya. Berdoa, bertanyalah pada Tuhan, apakah Tuhan setuju kamu menjalin relasi cinta dengan gebetanmu? Apakah dia adalah pasangan yang Tuhan siapkan bagimu atau hanya godaan untuk menguji kesetiaan kita pada Tuhan? Doakan setiap hari agar Tuhan semakin menunjukkan siapa gebetanmu yang sebenarnya, dan pada akhirnya, kamu dapat memutuskan dengan benar. Relasi yang benar, dengan siapa pun itu, harus berpusat pada Tuhan.
Jika ada alarm dari Tuhan, dengarkan dan taatlah. Alarm dari Tuhan untukku saat itu adalah respon orang tuanya yang tidak menyukai latar belakang suku asalku, yang harusnya aku bawa dalam doa dan discernment, bukan terus berjalan dengan kekuatan sendiri. Responmu terhadap alarm dari Tuhan akan menentukan perjalanan relasimu dengan calon pasanganmu kelak. Ketika Tuhan menciptakan kita, Ia juga memberikan gambar dan rupa-Nya bagi kita. Dengan demikian, sudah pasti pula bahwa Ia hanya akan memberikan yang terbaik bagi kita.
Jangan takut kalau alarm Tuhan berbunyi bahwa gebetanmu tidak baik untukmu. Jangan genggam apa yang tidak seharusnya kamu genggam. Jangan tarik apa yang seharusnya dilepas. Jangan takut melepaskan apa yang bukan dari Tuhan. Tuhan pasti akan memberikan apa yang memang untukmu. Tuhan tidak akan salah, pasanganmu tidak akan tertukar. Memilih mundur dan tidak melanjutkan hubungan ke jenjang pacaran bukanlah sebuah dosa. Kalau sudah tahu dari awal, lebih baik diakhiri secara baik-baik.
Satu hal yang juga penting adalah jangan menginvestasikan perasaanmu terlalu dalam pada masa-masa sebelum pacaran ataupun saat pacaran. Gunakan hati dan akal budimu secara seimbang. Aku sangat berharap kamu bisa lebih bijak daripada aku yang lama. Tempatkan Tuhan pada tingkat pertama dalam hubunganmu dengannya, agar kamu, dia, dan keluargamu nantinya menjadi satu dalam kasih Tuhan.
Tim Teologi Tubuh
コメント