Aku adalah seorang disabilitas sejak bayi. Dari luar, aku memang kelihatan normal, tapi sebenarnya tidak. Tangan dan kakiku yang sebelah kanan lumpuh. Mata kananku divonis buta. Walaupun begitu, aku paling tidak suka jika diperlakukan berbeda karena kondisi fisikku. Bagiku, hidup adalah belajar. Sama seperti di sekolah, untuk bisa naik kelas maka para murid harus terlebih dulu menyelesaikan ujian, maka demikian jugalah dengan kehidupan. Ada serangkaian ujian yang harus kuhadapi. Berbagai penderitaan yang aku alami selama ini adalah bagian dari ujian itu. Karenanya, aku bertekad agar bisa naik kelas. Tidak sekadar naik kelas, tapi aku ingin dapat nilai A. Itu yang membuatku tidak memandang pengalaman pahit sebagai hal yang tidak menyenangkan, tetapi sebagai tantangan yang harus dijalani dan ditaklukkan.
15 Agustus 2006. Aku menghadiri tahbisan imamat di sebuah paroki di Jakarta. Aku mendapatkan pesan singkat dari nomor yang tak kukenal. Dari pesan singkat yang salah alamat , akhirnya berujung kita berkenalan. Dia adalah seorang frater (calon imam) yang kemudian mengajakku berpacaran. Aku menerimanya karena dia berkata bahwa dia ingin keluar dari seminari. Kami pun pacaran LDR (long distance relatioship). Bulan Maret 2008, aku mendengar kabar dia berada di Surabaya untuk menjalani operasi hernia. Aku nekat menyusul ke Surabaya. Itulah pertemuan kami secara one on one yang pertama kali setelah selama ini hanya berkomunikasi lewat sarana gadget. Saat kami hanya berduaan di kamar rumah sakit, tiba-tiba saja dia mengajakku berhubungan badan. Aku kaget sekali. Saat itu mataku dengan nanar memandang salib di dinding kamar. Aku menolak permintaannya. Saat dia keluar dari rumah sakit, aku mengantarnya pulang. Saat berada dalam kamarnya, dia bercerita kalau dirinya telah dinyatakan mandul karena operasi hernia. Dia kembali mengajakku bersetubuh. Aku sempat terhanyut. Aku tenggelam dalam arusnya. Sampai kemudian aku tersadar kembali dan menepisnya. Aku menangis tersedu-sedu. Suasana pun menjadi kaku. Keesokan harinya, dia menghubungiku dan mengakhiri hubungan kami. Peristiwa itu sungguh meninggalkan luka mendalam di hatiku.
Tahun 2012, saat masih menjadi mahasiswa IP Teologi di Universitas Atmajaya, aku secara tak sengaja menemukan ulasan Teologi Tubuh di Internet. Aku memutuskan untuk mendalaminya lebih lanjut dengan mengikuti program-program Teologi Tubuh di TOBIT. Melalui pengajaran-pengajarannya, aku sungguh merasa diberi banyak pencerahan hingga aku bisa benar-benar kuat melihat masa laluku tanpa merasa sakit. Aku berusaha mengampuni mantan pacarku. Aku tidak menyesali keputusan untuk tidak menyerahkan keperawananku kepadanya. Aku mulai bisa menemukan tujuan hidupku yang murni. Aku menantikan datangnya pasangan hidup yang dipilih oleh Tuhan. Aku merindukan sebuah perkawinan yang bisa merayakan arti nupsial perkawinan: bebas, total, setia, dan berbuah. Dan aku tidak lagi cemas akan masa depanku. Saat ini, aku ingin hidup yang bebas, total, setia, dan berbuah. Bebas untuk menjadi diriku sendiri. Total dalam pemberian diri dengan melayani di keluarga, Gereja, tempat kerja, dan masyarakat. Setia terhadap pilihan yang sudah aku pilih. Dan akhirnya untuk berbuah, yaitu menjadi manusia yang penuh dengan cinta.
Aku tahu, ini semua tidaklah mudah. Tapi aku yakin bahwa Bapa di Surga akan menolongku sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil. Bapa di Surga yang selama ini telah menolongku lewat keluarga, sahabat-sahabat, dan orang-orang di sekitarku. Suatu saat, mungkin aku akan terjatuh lagi. Tapi aku yakin akan bisa bangkit lagi. Bagiku, hidup adalah sekolah. Ada banyak ujian untuk dihadapi dan aku ingin lulus dengan nilai A.
Kontributor: Agnes Natalia – alumni Advance Program 2012.
Kisah lengkapnya bisa dibaca dalam Buku “SHAKE YOUR BODY … AND FIND GOD!”
Comments