top of page
Writer's pictureDomus Cordis

A Calling For Love

“Ooo anak baru! Belum kenalan!”

Nina senang sekali bertemu dengan teman barunya, penghuni lama di tempat kost ini. Maklum, sejak ia mulai tinggal di kost ini ia nyaris tak pernah bertemu penghuni lainnya. Semua sibuk. Ia sendiri biasa berangkat jam 6 pagi dan pulang paling cepat jam sembilan. Sebagai mahasiswi semester akhir ia sibuk menyusun tugas akhir. Dan ia masih aktif memberi les privat pelajaran bagi murid-muridnya yang masih ingin dibimbing selama ia masih tinggal di kota ini.

“Saya Nina, senang berkenalan…’ jawab Nina yang sempat merasa ragu, karena ia telah mendengar berita ‘pendahuluan’ tentang teman barunya. Ia mencoba merasakan genggaman tangan teman barunya saat mereka berjumpa. Rasanya tidak ada yang luar biasa. Hanya genggaman erat yang menawarkan persahabatan. Maka segera ditepisnya pemikiran negatif tentangnya. Mungkin ia seorang yang amat care pada teman baru, batinnya sambil mencoba berpikir positif. Ia tak ingin terpengaruh oleh cerita-cerita miring tentang teman barunya.

Nina segera melupakannya sampai ia berjumpa dengan asisten pengurus kost yang setia membersihkan kamar kostnya tiap minggu pagi. Perempuan sepuh itu tampak bersungguh-sungguh saat menutup salam pamitnya dengan membisikinya,

“Hati-hati, Non, sama Non yang kamarnya di pojok sana..”

“Kenapa?’

“…pokoknya hati-hati saja…” jawab sang asisten sebelum ia pergi.

Nina merasa bahwa ia tak menemukan alasan untuk menjaga jarak dengan teman barunya yang ramah itu, yang menurut cerita orang sebagai orang bermasalah… LGBT… Maka ia pun mulai mempelajari masalah teman barunya. Ia senang ketika mendapat gambaran yang lebih jelas sekarang. Ia juga ingin tetap menghargai keberadaan teman barunya sebagai seorang pribadi. Seorang insan yang ingin bisa diterima dalam masyarakat. Kini ia mengerti kalau menerima bukan berarti membenarkan. Menerima dengan menghormati hak-hak asasinya sebagai manusia…

***

MELIHAT DARI DEKAT DAN MEMANDANGNYA DARI KACAMATA IMAN

Kita mungkin pernah mendengar istilah itu. LGBT atau GLBT merupakan singkatan dari “lesbiangaybiseksual, dan transgender“. Mari kita memandangnya dari kacamata iman…

Apakah yang Dimaksud dengan LGBT?

Kita mungkin pernah mendengar istilah itu. LGBT atau GLBT merupakan singkatan dari “lesbiangaybiseksual, dan transgender“. Istilah LGBT sering digunakan untuk menggambarkan perilaku seksual yang menyimpang. Istilah ini mulai digunakan sejak tahun 1990-an untuk menggantikan frasa “komunitas gay” karena istilah ini dianggap mewakili kelompok-kelompok yang disebut dalam singkatan ini.

Di Amerika Serikat dan beberapa negara berbahasa Inggris lainnya istilah LGBT digunakan oleh mayoritas komunitas dan media yang berbasis identitas seksualitas dan gender. Namun, istilah ini belum dapat diterima oleh semua kelompok yang disebutkan. Ada pihak yang mengganti susunan huruf dalam akronim ini menjadi GLBT. Meskipun maknanya sama, “LGBT” punya konotasi yang lebih feminis dibanding “GLBT” karena menempatkan “L” terlebih dahulu. Ada yang menambahkan “Q” pada istilah ini untuk “queer” atau “questioning” (mempertanyakan) sehingga istilahnya menjadi “LGBTQ”, “LGBTQQ”, atau “GLBTQ?”. Huruf lain yang dapat ditambahkan adalah “U” untuk “unsure” (tidak pasti); “C” untuk “curious” (ingin tahu); “I” untuk interseks; “T” lain untuk “transeksual” atau “transvestit“; “T”, “TS”, atau “2” untuk “Two‐Spirit“; “A” atau “SA” untuk “straight allies” (orang heteroseksual yang mendukung pergerakan LGBT); atau “A” untuk “aseksual“. Ada pula yang menambahkan “P” untuk panseksualitas atau “polyamorous,” dan “O” untuk “other” (lainnya). Susunan huruf-huruf tersebut tidak terstandardisasi.

Istilah “Gay” merupakan sebutan khusus untuk laki-laki yang memiliki orientasi seks terhadap sesama jenisnya. Istilah “Lesbian” merupakan sebutan untuk perempuan yang menyukai sesama jenisnya. Istilah “biseksual” dipakai untuk orang yang bisa tertarik kepada laki-laki atau perempuan. Sedangkan istilah “Transgender” digunakan untuk orang yang cara berperilaku atau berpenampilannya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya.

LGBT memiliki lambang berupa bendera berwarna pelangi. Dari sudut pandang ilmu kesehatan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender ini tidak dibenarkan. Perilaku ini bukan bentuk dari gangguan kejiwaan namun merupakan masalah kejiwaan. Demikian pula halnya dengan sudut pandang Gereja Katolik, perilaku homoseksual merupakan penyimpangan.

Menurut para ahli, transgender adalah masalah kelainan bentuk organ reproduksi manusia atau meragukan antara organ wanita atau pria. Namun hal tersebut tentunya seiring waktu dapat diketahui mana yang lebih dominan dan seharusnya dicarikan jalan keluar untuk mengatasinya.

Faktor Apa Saja yang Dapat Menyebabkan Seseorang menjadi LGBT?

Seseorang dapat berperilaku LGBT akibat pengaruh beberapa faktor penyebab LGBT antara lain:

  1. Faktor keluarga

Cara orang tua mendidik anaknya dapat mempengaruhi sikap anak dalam memilih cara hidup  normal layaknya orang yang lainnya. Pengalaman menerima perlakuan kasar atau perlakuan yang tidak baik lainnya dapat menjadikan anak menjadi cenderung memilih LGBT sebagai pilihan hidup.

Trauma yang dialami oleh seorang anak perempuan yang menerima kasar atau tindak kekerasan lainnya dari ayah atau saudara laki-lakinya akan membuatnya memiliki sifat seperti laki-laki atau bersikap benci terhadap semua laki-laki.

  1. Faktor lingkungan dan pergaulan

Lingkungan dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Lingkungan pergaulan dapat menjadi salah satu faktor penyebab dominan terhadap keputusan seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas LGBT. Pengaruh budaya yang memperkenalkan cara hidup LGBT  dapat mempengaruhi seseorang untuk ikut menjadi bagian darinya.

  1. Faktor genetik

Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa salah satu faktor pendorong terjadinya homoseksual, lesbian, atau perilaku seks yang dianggap menyimpang lainnya bisa berasal dari dalam tubuh seseorang LGBT yang sifatnya bisa menurun dari anggota keluarga sebelumnya. Namun hingga kini masih belum dapat dipastikan apakah kecenderungan ini dapat dipengaruhi oleh faktor genetik.

Bagaimana Pandangan Gereja Katolik tentang Homoseksual.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2357 mendefinisikan homoseksualitas sebagai hubungan antara para pria atau wanita, yang merasa diri tertarik dalam hubungan seksual, semata-mata atau terutama, kepada orang yang sama jenis kelaminnya. Homoseksualitas muncul dalam berbagai waktu dan kebudayaan dalam bentuk yang sangat bervariasi.

Berdasarkan Kitab Suci yang melukiskannya sebagai penyelewengan besar (Bdk.Kej 19:1-29; Rm 1:24-27; 1 Kor 6:10; 1 Tim 1:10) tradisi Gereja selalu menjelaskan, bahwa “perbuatan homoseksual itu tidak baik” (CDF, Perny. “Persona humana”). Perbuatan itu melawan hukum kodrat, karena kelanjutan kehidupan tidak mungkin terjadi sewaktu persetubuhan. Perbuatan itu tidak berasal dari satu kebutuhan benar untuk saling melengkapi secara afektif dan seksual. Bagaimanapun perbuatan itu tidak dapat dibenarkan.

Gereja yang menyadari bahwa tidak sedikit pria dan wanita yang  mempunyai kecenderungan homoseksual yang sebenarnya tidak mereka pilih sendiri mengajarkan bahwa mereka ini harus dilayani dengan hormat, dengan kasih dan bijaksana. Mereka harus diarahkan agar dapat memenuhi kehendak Allah dalam kehidupannya, dengan hidup murni, melalui kebajikan dan pengendalian diri dan mendekatkan diri pada Tuhan melalui doa dan sakramen, menuju kesempurnaan Kristen (KGK 2358-2359).

Bagaimana Sikap Gereja Katolik Terhadap Homoseksualitas?

  1. Gereja Katolik tidak menolak para gay dan lesbian, namun tidak membenarkan perbuatan mereka.

Dosa/ praktek homoseksual perlu kita tolak karena merupakan dosa berat yang melanggar kemurnian, namun manusianya tetap harus dihormati dan dikasihi. Walaupun demikian, Gereja tetap memegang bahwa kecenderungan homoseksual adalah menyimpang. (berdasarkan Congregation for the Doctrine of Faith yang dikeluarkan tgl 3 Juni 2003 mengenai, Considerations regarding Proposals to give legal recognition to unions between Homosexual Persons, 4).

Kitab Suci mengecam perbuatan homoseksual (lih. Rm 1:24-27, 1Kor 6:10; 1Tim 1:10), karena secara mendasar perbuatan itu menyimpang. Ajaran Kitab Suci ini tentu tidak memperbolehkan kita untuk menyimpulkan bahwa mereka yang mengalami kecenderungan homoseksual ini bertanggungjawab untuk keadaan yang khusus ini, tetapi ajaran ini menyatakan bahwa tindakan-tindakan homoseksual secara mendasar menyimpang. Namun demikian, menurut ajaran Gereja, mereka yang mempunyai kecenderungan homoseksual harus diterima dengan hormat, dengan belas kasih dan dengan sensitivitas.

Setiap tanda diskriminasi yang tidak adil yang dikarenakan oleh kecenderungan tersebut harus dihindari. “Mereka harus dilayani dengan  hormat, dengan kasih sayang dan dengan bijaksana. Orang jangan memojokkan mereka dengan salah satu cara yang tidak adil.” (KGK 2358). Mereka, seperti halnya semua umat beriman, dipanggil untuk hidup murni, namun kecenderungan homoseksual tetaplah menyimpang (KGK 2358) dan perbuatan homoseksual adalah dosa melawan kemurnian (KGK 2396). Dengan demikian, tidak ada dasar untuk mempertimbangkan persatuan homoseksual sebagai sesuatu yang mirip ataupun bahkan sedikit menyerupai gambaran rencana Tuhan untuk perkawinan dan keluarga.

  1. Menolak perbuatan homoseksual, namun menolak diskriminasi terhadap kaum homoseksual

Sikap yang diajarkan Gereja adalah: menolak untuk menyetujui perbuatan-perbuatan homoseksual, namun juga menolak diskriminasi yang tidak adil terhadap mereka yang mempunyai kecenderungan homoseksual. Gereja mengajarkan bahwa penghormatan kepada orang-orang yang homoseksual tidak dapat mengarah kepada menyetujui tindakan homoseksual atau kepada pengakuan persatuan homoseksual (homosexual union) secara hukum. Kesejahteraan umum mensyaratkan bahwa hukum mengenali, mendukung dan melindungi perkawinan sebagai dasar keluarga, unit terkecil dalam masyarakat. Pengakuan secara hukum akan persatuan homoseksual atau penempatan hal itu sejajar dengan perkawinan akan berarti tidak saja sebagai pengakuan akan tindakan/pola tingkah laku yang menyimpang tersebut, tetapi juga menghalangi nilai- nilai dasar yang menjadi warisan bersama umat manusia. Gereja tidak dapat gagal untuk mempertahankan nilai- nilai ini, demi kebaikan para pria dan wanita dan demi kebaikan masyarakat itu sendiri.

  1. Tidak menyetujui pengakuan legal/hukum terhadap ‘Perkawinan’ Homoseksual (homosexual union)

Dalam gereja Katolik perkawinan yang diperbolehkan adalah antara seorang pria dan seorang wanita, yang dengan saling memberikan diri yang sepantasnya dan eksklusif hanya antara mereka berdua, mengarah kepada persekutuan pribadi mereka. Dengan cara ini, mereka saling menyempurnakan dalam rangka bekerjasama dengan Tuhan di dalam penciptaan dan pengasuhan (upbringing) kehidupan-kehidupan manusia yang baru.

Apakah Homoseksual Bisa “Sembuh”?

Homoseksual tidak dapat dipastikan bisa “sembuh”, namun seseorang yang memiliki kecenderungan homoseksual harus mau bekerja sama dalam usaha untuk mengatasi keadaannya. Diperlukan kesediaannya untuk menerima bimbingan konseling dan pertolongan Roh Kudus yang diberikan dalam sakramen-sakramen Gereja terutama Sakramen Tobat dan Ekaristi. Hal ini juga diungkap oleh seorang gay, David Morrison dalam bukunya Beyond Gay, (Indiana, Our Sunday Visitor, Inc, 1999). Fakta menunjukkan bahwa dengan pengarahan yang benar untuk bertumbuh secara rohani dalam komunitas yang mendukung pertobatannya, maka seorang yang homoseksual dapat menjalani hidup yang normal, entah akhirnya menjadi heteroseksual dan menikah dengan lawan jenis, ataupun tetap memilih untuk tidak menikah, namun hidup dalam kemurnian, dan tetap mengalami kebahagiaan.

Apa yang Dapat Diberikan Seseorang dengan Kecenderungan Homoseksual kepada Yesus?

Seseorang dengan kecenderungan homoseksual dapat mempersembahkan pertobatan yang sungguh dan komitmen yang serius untuk hidup kudus agar ia dapat berakar dalam sakramen dan dapat melihat dengan lebih jelas apa yang menjadi panggilan hidupnya. Selama proses ini, dianjurkan agar ia memohon bantuan dari Romo dan konselor di paroki. Jika ia memang terpanggil dan ia telah mengalami kuasa Roh Kudus yang memampukannya untuk menolak dosa, ia bahkan dapat melayani orang-orang lain yang memiliki kecenderungan seperti dia setelah ia sendiri telah mengalami pertobatan yang terus-menerus dan melaksanakan buah-buah pertobatan itu.

Seseorang dengan kecenderungan homoseksual seumur hidupnya, ia harus tetap waspada dan mawas diri agar jangan jatuh lagi ke dalam dosa homoseksual. Perjuangan untuk hidup kudus merupakan perjuangan seumur hidup, untuk itu maka ia harus mengandalkan pertolongan Tuhan Yesus sendiri, yang dapat diterimanya melalui doa-doa, sakramen-sakramen dan komunitas umat beriman.

Apakah Alasan Gereja Katolik Tidak Menyetujui ‘perkawinan’ Homoseksual?

  1. Perkawinan ditentukan oleh Allah dengan kodrat, sifat, dan esensi tertentu

Gereja Katolik mengajarkan bahwa perkawinan bukanlah hanya terbatas pada hubungan antara manusia, namun hubungan yang ditentukan oleh Sang Pencipta dengan kodrat tertentu, dengan sifat esensi dan maksud yang tertentu.

Perkawinan dimaksudkan Allah agar pasangan manusia itu – yaitu antara seorang laki-laki dan seorang perempuan – mengambil bagian dalam karya penciptaan Tuhan dan pendidikan/pengasuhan kehidupan baru.

  1. Tiga elemen dasar perkawinan menurut rencana Tuhan

Tiga prinsip dasar tentang rencana Allah untuk perkawinan adalah :

2.1. Manusia sebagai gambaran Allah, diciptakan “laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27).

Pria dan wanita adalah sama sebagai pribadi dan saling melengkapi sebagai laki-laki dan perempuan. Seksualitas adalah sesuatu yang tidak hanya berhubungan dengan hal fisik dan biologi, tetapi telah diangkat ke tingkat ‘pribadi’, di mana kodrat dan roh disatukan.

2.2. Perkawinan ditetapkan oleh Tuhan sebagai bentuk kehidupan di mana sebuah persekutuan pribadi dinyatakan dengan melibatkan kemampuan seksual.

“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:24)

2.3. Tuhan telah menghendaki untuk memberikan kepada persatuan antara pria dan wanita sebuah partisipasi/ kerjasama yang istimewa di dalam karya penciptaan-Nya.

Oleh karena itu Allah memberkati pria dan wanita dengan perkataan, “Beranakcuculah dan bertambah banyak” (Kej 1:28). Dengan demikian, di dalam rencana Tuhan, kodrat perkawinan adalah saling melengkapi dalam hal seksual dan kemampuan berkembang biak.

Persatuan homoseksual tidak dapat memberikan kontribusi yang layak terhadap prokreasi dan kelanjutan generasi umat manusia (survival of the human race). Selanjutnya, persatuan perkawinan antara pria dan wanita telah diangkat oleh Kristus ke martabat sakramen. Gereja mengajarkan bahwa perkawinan Kristiani adalah tanda yang nyata akan perjanjian Kristus dan Gereja (lih. Ef 5:32). Makna Kristiani tentang perkawinan meneguhkan dan memperkuat persatuan perkawinan antara pria dan wanita.

Apa yang Perlu Dipahami Umat Beriman Tentang Homoseksual ?

Sebagai umat beriman penting untuk dapat memahami perbedaan kecenderungan homoseksual dengan pelaku homoseksual. Kecenderungan homoseksual merupakan kecenderungan ketertarikan terhadap sesama jenis itu. Keadaan ini belum membuahkan dosa bila tidak dinyatakan dalam aktivitas seksual homoseksual. Gereja Katolik menganggap kecenderungan ini sebagai “objective disorder“/ ketidakteraturan yang obyektif, karena menjurus kepada hubungan seksual yang tidak wajar.

Kecenderungan homoseksual di sini menyerupai kecenderungan yang dimiliki seseorang untuk kebiasaan buruk lainnya, misalnya ada orang yang memiliki kecenderungan pemarah, pemabuk, pemalas, dst. Kecenderungan ini baru akan berbuah menjadi dosa, jika terus dituruti keinginannya, dalam hal ini, adalah jika mereka yang gay/homoseksual terus bergaul dalam lingkungan ‘gay’ dan mempraktekkan kehidupan seksual gaya ‘gay’ ini. Namun, jika tidak, maka kecenderungan tersebut tidak berbuah dosa.

Jadi kecenderungan ini benar-benar ada/nyata, walaupun bukan berarti kita dapat membiarkannya. Contoh, tentu saja kita tidak dapat mengatakan karena seseorang memiliki kecenderungan pemarah, maka ia boleh saja hidup sebagai seorang pemarah. Kita justru harus mengalahkan kecenderungan itu dengan kuasa yang kita terima dari kemenangan salib Kristus, sebab oleh Dia segala belenggu dosa dipatahkan.

Jadi  sebenarnya, orang-orang yang “lesbi” atau “gay” sebenarnya dapat menghindari dosa, dengan tidak mengikuti dorongan nafsu seksualnya yang terarah kepada teman sejenis kelamin. Jika mereka hidup mengikuti hawa nafsu tersebut, tentu saja mereka berdosa.

Bagaimana Selayaknya Umat Katolik Menyikapi Kecenderungan Homoseksual?

  1. Semua umat Katolik berkewajiban menentang pengakuan hukum terhadap perkawinan sesama jenis. Semua umat Katolik berkewajiban untuk menentang pengakuan legal/ hukum terhadap ‘perkawinan’ sesama jenis (homosexual union), dan tokoh politik Katolik berkewajiban untuk melakukannya dengan cara yang khusus sesuai dengan tanggung jawab mereka sebagai seorang tokoh politik. 

  2. Menerima orang dengan kecenderungan homoseksual dengan dasar cinta kasih sebagai sesama manusia yang patut dihargai keberadaannya dan tidak mendiskriminasi.

  3. Mendukung perjuangan orang dengan kecenderungan homoseksual untuk dapat menjalani hidup normal

  4. Memberi ruang kepada orang dengan kecenderungan homoseksual untuk bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih dalam Tuhan.

Langkah-langkah praktis yang dapat disarankan untuk mengatasi LGBT

  1. Mengikuti retret.

  2. Menerima Sakramen Tobat secara teratur.

  3. Bertekun dalam Firman Tuhan.

  4. Bertekun dalam doa dan sakramen.

  5. Berlatih kebajikan kemurnian.

  6. Melawan ketika godaan datang.

  7. Hindari kesempatan berbuat dosa.

  8. Bergabung dalam komunitas.

Kesimpulan

Gereja Katolik tidak menolak para gay dan lesbian, namun tidak membenarkan perbuatan mereka; melainkan mengarahkan mereka untuk hidup sesuai dengan perintah Tuhan untuk menerapkan kemurnian/chastity.  Maka di sini perlu dibedakan akan perbuatan/ dosa homoseksual dan orangnya. Dosa/praktek homoseksual perlu kita tolak karena merupakan dosa berat yang melanggar kemurnian, namun manusianya tetap harus dihormati dan dikasihi.  Walaupun demikian, Gereja tetap memegang bahwa kecenderungan homoseksual adalah menyimpang.(berdasarkan Congregation for the Doctrine of Faith yang dikeluarkan tgl 3 Juni 2003 mengenai, Considerations regarding Proposals to give legal recognition to unions between Homosexual Persons, 4).

Disarikan dari berbagai sumber oleh V. Waty S.H.

Editor: Ika Sugianti

Daftar Bacaan :

Wikipedia : LGBT

Katolisitas • Homoseksual : dosakah, dan dapat sembuhkah? • Mengapa Gereja Katolik Menentang “Perkawinan Homoseksual? • Bagaimana untuk dapat lepas dari dosa homoseksual

LGBT Menurut Gereja Katolik Ordo Fransiskan

Katolik News: Moral Katolik Menilai LGBT

Kompendium Katekismus Gereja Katolik,  Diterjemahkan dari Catechismo della Chiesa Cattolica oleh Harry Susanto SJ, Kanisius, cetakan ke 10, 2015

4 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page