4. Mereka menghidupi “perkawinan ilahi”. Yesus menggambarkan dirinya sebagai Mempelai Lelaki dan Gereja sebagai Mempelai Perempuan. Pada kesudahan zaman nanti maka Yesus akan bersatu penuh dengan Gereja-Nya, istilah yang dipakai adalah Perkawinan Anak Domba. Gambaran ‘perkawinan’ tersebut dihidupi oleh para selibat bagi Allah bukan nanti di Sorga, tapi mereka sudah “mencicipi”nya selama masih hidup di dunia ini. Hal ini kemungkinan besar agak sulit dipahami oleh para selibat lelaki karena penggunaan istilah dirinya adalah “mempelai perempuan”, namun tidak menjadi hal yang sulit dipahami bagi para selibat demi Allah yang berjenis kelamin perempuan. Buat kamu yang tertarik untuk lebih memahami soal “perkawinan ilahi” ini bisa mengikuti Basic Program TOB nya TOBIT.
5. Mereka bisa jatuh cinta. Oleh karena mereka normal secara seksual maka mereka memiliki perasaan atau emosi sebagaimana dimiliki oleh mereka yang tidak selibat. Para selibat juga bisa jatuh cinta dengan seseorang. Apa yang bisa dilakukan bila hal ini terjadi? Nikmati saja. Jatuh cinta adalah pengalaman perasaan yang indah dalam hidup seseorang. Hanya karena seseorang selibat tidak berarti orang tersebut perlu menekan atau menyangkal jati diri atau perasaannya dan menjadi seperti robot.
6. Mereka menjalani hidup dengan gembira atau happy. Seorang selibat demi Allah yang tidak happy dengan hidupnya akan membawa kesulitan bagi diri sendiri maupun sesamanya. Bila motivasi selibatnya adalah demi relasi yang fokus dengan Allah maka seorang selibat seharusnya menimba damai, sukacita dan menjadi pribadi yang positif sebagai akibat keintiman relasinya dengan Allah sendiri yang adalah sumber damai dan sukacita sejati dalam hidupnya. Mereka bisa memiliki masalah ataupun pergumulan dalam hidupnya namun kekuatan relasi dengan Allah selalu akan menjadi pengharapan terbesar dalam hidupnya.
7. Mereka menikmati persahabatan. Para selibat demi Allah memiliki kemampuan untuk mencintai secara bebas bukan pada hanya satu orang melainkan kepada banyak orang. Kepenuhan relasi dengan Allah membawa kepenuhan cinta kasih dalam hatinya untuk diberikan kepada sesama. Relasi dengan sesama akan membawa kesegaran yang baru dalam hidup selibat yang dijalaninya. Selibat tidak berarti hidup hanya bagi diri sendiri atau mengisolasi diri dari lingkungan di sekitarnya. Justru dalam kebersamaan dengan orang-oranglah membuat hidup seorang selibat menjadi lebih berarti. Karena itu mereka yang merengkuh hidup selibat bagi Allah ini selalu harus hidup dalam komunitas dan terbuka pada pertemuan dan persahabatan dengan banyak orang.
8. Mereka bisa kesepian. Banyak orang menjadi takut terbuka pada pilihan hidup selibat demi Allah karena takut hidup sendirian, atau gaung yang ingin dikatakan adalah mereka takut kesepian. Namun kesepian bisa juga dialami oleh seorang isteri atau seorang suami dalam sebuah perkawinan yang sah. Kesepian juga bisa dialami oleh mereka yang tinggal di rumah kontrakan atau di dalam sebuah apartemen mewah. Kesepian juga bisa dialami oleh seorang anak kecil atau seorang lansia. Kesepian bukanlah milik mereka yang memilih hidup selibat. Kesepian adalah bagian kehidupan setiap orang. Hanya karena seseorang itu selibat maka tidak berarti bahwa dia akan lebih merasa kesepian dari pada mereka yang hidup menikah. Baik mereka yang single, menikah atau pun hidup selibat perlu sama-sama mengolah rasa kesepian yang mereka rasakan.
“Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu. Tetapi sebaliknya, supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan” – Santo Paulus
Oleh. Lidwina Sisilia, seorang selibat awam dan pecinta teologi tubuh
Comments